BAB 1 Eschericia coli sebagai Cell Factory untuk Biosintesis Senyawa alam (Natural Products)
Senyawa alam saat ini
dikembangkan sebagai obat-obatan atau digunakan sebagai backbone struktural untuk pengembangan obat-obatan baru, dan juga
sebagai bahan makanan serta kosmetik. Permintaan global dan ukuran pasar
senyawa alam saat ini meningkat karena senyawa alam semakin disukai daripada
senyawa sintetis (Yang et al., 2020).
Sebagian besar senyawa alam diperoleh dengan ekstraksi secara langsung dari
tumbuhan atau hewan. Esktraksi senyawa alam secara langsung dari hewan atau
tumbuhan memiliki kelemahan yaitu biaya produksi yang tinggi dan hasil ekstraksi
yang rendah sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Sintesis kimia dari
banyak senyawa alam juga kurang efektif karena selain memproduksi senyawa
target, sintesis kimia juga menghasilkan stereoisomer dan metabolit intermediet
yang tidak diinginkan, serta perlunya reaksi multistep yang membutuhkan biaya yang besar. Alternatif yang banyak
digunakan saat ini adalah menggunakan mikroorganisme sebagai cell factory untuk biosintesis senyawa alam (Park et al., 2018a).
Di antara berbagai strain mikroba, E. coli banyak digunakan sebagai workhorse untuk produksi beberapa senyawa
alam. E. coli, sebagai organisme yang
telah dikarakterisasi dengan baik, memiliki beberapa keunggulan sebagai cell factory, termasuk laju pertumbuhan yang
tinggi, ketersediaan alat gene dan genome engineering, ketersediaan teknik
kultur sel dengan kepadatan tinggi, dan berbagai alat dan strategi rekayasa
sistem metabolik termasuk genome-scale
metabolic models (GEMs) (Kim et al.,
2017). GEMs adalah satu set model reaksi metabolik seluruh genom yang
mengandung informasi berkaitan dengan gen-protein-reaksi yang menjelaskan
keseluruhan metabolisme sel organisme tertentu. E. coli telah banyak digunakan di kalangan ilmuan dan industri
sebagai salah satu inang mikroba paling populer untuk produksi senyawa alam
(Park et al., 2018a). Namun, terdapat
beberapa kekurangan E. coli, termasuk
tidak adanya organel subseluler yang diperlukan untuk ekspresi fungsional enzim
eukariotik (misalnya, sitokrom P450s) dan flux metabolik endogen yang lemah
menuju senyawa alam target yang diinginkan. Selain itu, kemungkinan infeksi fag
juga harus dihindari.
1.2
Kelompok
senyawa alam yang dapat disintesis oleh bakteri
Senyawa turunan dari terpena yang
mengandung unit isoprene dan merupakan kelas senyawa alam terbesar. Artemisinin
(antimalaria) dan taxol (antikanker) diketahui sebagai senyawa terpenoid yang
dihasilkan oleh mikroorganisme
rekombinan. E. coli memiliki jalur
DXP yang mensintesis IPP dan DMAPP (prekursor terpenoid). Untuk meningkatkan
flux pathway menuju prekursor
tersebut serta menghindari mekanisme yang tidak diketahui pada jalur DXP native, maka peneliti seringkali
mengintroduksikan jalur MEV heterolog pada E.
coli (Langan et al., 2019).
Phenylpropanoids disintesis dari
tyrosine atau phenylalanine, yang merupakan asam amino aromatik yang berlimpah
yang diproduksi dari jalur shikimat. Pehnylpropanoid yang paling dikenal yaitu
quercetin, kaempferol, and resveratrol. Flavonoids dan stilbenoids adalah dua
sub kelompok utama phenylpropanoid, dimana intermediet umumnya diproduksi
dengan kondensasi satu molekul coumaroyl-CoA dengan tiga molekul malonyl-CoA. Untuk
mempertahankan pool malonyl-CoA yang
memadai pada E. coli, beberapa biosensor
dikembangkan untuk menscreening
strain overproduksi malonyl-CoA. Enzim mutan yang resisten terhadap inhibisi
feedback oleh prekursor (seperti fenilalanin dan tyrosine) dapat meningkatkan
produksi phenylpropanoid pada E. coli (Luo
et al., 2019).
Alkaloid adalah istilah umum
senyawa alam yang mengandung nitrogen, seperti morfin, kokain, dan vinblastin.
Alkaloid dikelompokkan menjadi beberapa subgrup, yaitu Monoterpene indole alkaloids (MIAs), tropane alkaloids, dan Benzylisoquinoline
alkaloids
(BIAs). Hanya BIAs yang dihasilkan oleh E. coli, yang diketahui sebagai organisme inang yang sangat baik
karena flux yang tinggi dari tyrosine (prekursor BIAs) (Nakagawa et al., 2016).
Polyketides dibentuk melalui kondensasi berulang
dari unit karbon kecil (seperti acetyl-CoA, malonyl-CoA, propionyl-CoA,
methylmalonyl-CoA, dan hexanoyl-CoA), dikatalisis oleh enzim PKS. Produksi
polyketides dari E. coli memiliki
banyak tantangan karena ketersediaan yang rendah (pada malonyl CoA) atau tidak
diproduksinya (pada methylmalonyl-CoA) prekursor jika tanpa rekayasa genetika,
kesulitan dalam ekspresi fungsional PKS, kebutuhan akan introduksi kofaktor
heterolog (seperti F420), dan kebutuhan suplementasi gen untuk menghasilkan
holoenzim fungsional (seperti sfp dari Bacillus
subtilis untuk aktivasi protein acyl-carrier).
Contoh paling populer dari polyketides adalah erythromycin, yang disintesis
dari Modular PKS Tipe I. Beberapa strategi untuk meningkatkan produksi
erythromycin pada E. coli adalah
integrasi gen PKS ke genom E. coli, overekspresi
chaperon, dan meningkatkan pool prekursor. Produksi polyketides aromatik oleh
PKS tipe II umumnya tidak berhasil karena kurang larutnya enzim utama PKS (Gao et al., 2010).
1.3 Ringkasan Skema Jalur Biosintetik 4
kelompok senyawa alam pada Eschericia
coli
Ringkasan skema jalur
biosintetik 4 kelompok senyawa alam pada Eschericia
coli ditunjukkan pada Gambar 1
(Yang et al., 2020). Skema tersebut
menunjukkan berbagai senyawa alam yang dapat diproduksi oleh E. coli dengan berbagai macam rekayasa
metabolik dan rekayasa genetika. Berbagai reaksi tersebut dikatalisis oleh berbagai
enzim:
1.
Native
enzyme (berwarna abu-abu) : enzim yang secara alami terdapat pada E. coli
2.
Heterologous
enzyme (berwarna hitam) : enzim yang diintroduksikan ke dalam strain E. coli melalui rekayasa genetika
3.
Engineered
enzyme (titik berwarna ungu) : enzim native
atau heterolog yang direkayasa membentuk enzim mutan yang memiliki
karakteristik yang diinginkan
4.
Feedback
inhibition-resistant enzyme (titik berwarna orange) : enzim yang direkayasa
sehingga resisten terhadap feedback inhibisi
5.
Polyketide synthases (PKSs) : Sebuah enzim multidomain atau kompleks enzim yang
mengkatalisis biosintesis poliketida; diklasifikasikan menjadi tiga tipe utama
(tipe I, II, dan III) berdasarkan mekanisme elongasi rantai karbonnya.
1.4
Senyawa
alam yang disintesis oleh strain engineered
E. coli
a.
Terpenoid
Produk |
Substrat |
Konsentrasi (mg/ml) |
Kadar (mg/g DCW) |
Skala |
Lycopene |
Glycerol |
3520 |
50.6 |
3 l fed-batch |
Luria–Bertani (LB) |
NRc |
448 |
Six-well flat-bottomed microtiter plates |
|
β-Carotene |
Glycerol |
3200 |
NR |
3 l fed-batch |
Zeaxanthin |
Glucose |
722.46 |
23.16 |
3 l fed-batch |
Astaxanthin |
Glycerol |
432.82 |
7.12 |
1.6 l fed-batch |
Amorphadiene |
Glucose |
30 000 |
NR |
100 ml fed-batch |
Artemisinic acid |
Glycerol |
105 |
NR |
50 ml flask |
Taxadiene |
Glycerol |
1020 |
NR |
1 l fed-batch |
Oxygenated taxanes |
Glycerol |
570 |
NR |
925 ml fed-batch |
Gambar 1 Ringkasan skema jalur biosintetik 4
kelompok senyawa alam pada Eschericia
coli (Yang et al., 2020)
a.
Poliketida
Produk |
Substrat |
Konsentrasi (mg/ml) |
Kadar (mg/g DCW) |
Skala |
6-Methylsalicylic acid |
Glycerol |
440.3 |
NR |
2 l fed-batch |
Aloesone |
Glucose |
30.9 |
NR |
50 ml flask |
Flaviolin |
Glucose |
26.0 |
NR |
50 ml flask |
Epothilone |
LB/propionate |
b0.001 |
NR |
NR |
Erythromycin A |
Glycerol/propionate |
10 |
NR |
100 ml flask |
Oxytetracycline |
LB |
2.0 |
NR |
25 ml flask |
Olivetolic acid |
Glycerol |
80 |
NR |
400 ml batch |
b.
Fenilpropanoid
Produk |
Substrat |
Konsentrasi (mg/ml) |
Kadar (mg/g DCW) |
Skala |
(2S)-Naringenin |
Glucose/L-tyrosine |
421.6 |
NR |
50 ml flask |
Glycerol |
103.8 |
NR |
50 ml flask |
|
Resveratrol |
p-Coumaric acid |
2300 |
NR |
25 ml flask |
Glucose |
304.5 |
NR |
25 ml flask |
|
Vanillin |
Isoeugenol |
∼4500 |
NR |
15 ml flask |
Glycerol |
24.7 |
NR |
50 ml flask |
|
(+)-Afzelechin |
p-Coumaric acid |
40.7 |
NR |
125 ml flask (coculture) |
Glucose |
26.1 |
NR |
125 ml flask (coculture) |
|
Coniferyl alcohol |
Glucose/glycerol |
124.9 |
NR |
1 l fed-batch (coculture) |
Caffeyl alcohol |
Glucose/glycerol |
854.1 |
NR |
1 l fed-batch (coculture) |
Hyperoside (quercetin) |
Sucrose/quercetin |
940 |
NR |
100 ml flask |
3-O-galactoside) |
||||
Quercitrin (quercetin |
Sucrose/quercetin |
1176 |
NR |
100 ml flask |
3-O-rhamnoside) |
||||
(+)-Catechin |
Eriodictyol |
910.9 |
NR |
40 ml flask |
Rosmarinic acid |
Xylose/glucose |
172 |
NR |
100 ml flask (coculture) |
(2S)-Pinocembrin |
Glucose |
525.8 |
NR |
1.5 l fermentation |
Salicylate 2-O-β-D-glucoside |
Glucose |
2500 |
NR |
NR (coculture) |
c.
Alkaloid
Produk |
Substrat |
Konsentrasi (mg/ml) |
Kadar (mg/g DCW) |
Skala |
Thebaine |
Terrific-broth |
2.1 |
NR |
100 ml flask (stepwise culture) |
Hydrocodone |
TB/glycerol |
0.36 |
NR |
100 ml flask (stepwise culture) |
(S)-Reticuline |
Turbo broth/glycerol |
46.0 |
NR |
3 l fermentation |
(R,S)-Reticuline |
TB/glycerol |
16 |
NR |
50 ml flask |
(R,S)-THP |
Glycerol |
287 |
NR |
300 ml flask (stepwise culture) |
L-DOPA |
Glucose |
25 530 |
NR |
3 l fed-batch |
Dopamine |
Glycerol |
2150 |
NR |
1
l fed-batch |
d. Senyawa
Lain
Produk |
Substrat |
Konsentrasi (mg/ml) |
Kadar (mg/g DCW) |
Skala |
Yersiniabactin |
Glycerol |
17.4 |
NR |
25 ml flask |
Echinomycin |
Glucose |
0.3 |
NR |
1.5 l fed-batch |
Methyl anthranilate |
Glucose |
4470 |
NR |
1.8 l fed-batch (two-phase culture
using tributyrin) |
Violacein |
Glucose |
4070 |
NR |
400 ml fed-batch |
Deoxyviolacein |
Glucose |
1230 |
NR |
400 ml fed-batch |
Heme |
Glucose/L-glutarate |
239.2 |
NR |
2 l fed-batch |
Indigo |
Glucose |
640 |
NR |
2 l fed-batch |
Indirubin |
Glucose |
56 |
NR |
2 l fed-batch |
BAB 2
STRATEGI REKAYASA METABOLIK PRODUKSI SENYAWA ALAM
a. Rekayasa Enzim Berbasis Struktur
Salah satu strategi penting untuk memaksimalkan pathway flux menuju produk yang
diinginkan adalah rakayasa enzim. Rekayasa Enzim Berbasis Struktur bisa
dilakukan untuk meningkatkan aktivitas bottleneck
enzyme dan mengubah spesifisitas substrat serta selektivitas produk. Peningkatkan
jumlah total metabolit yang diinginkan adalah hasil dari perubahan aktivitas bottleneck enzyme (Shiraishi et al.,
2009). Contohnya adalah rekayasa enzim NphB yang melakukan proses
prenilasi berbagai substrat aromatik. Untuk meningkatkan aktivitas katalitik
dan selektivitas produk pada NphB, simulasi protein-docking
dilakukan untuk mengidentifikasi asam amino kunci yang berikatan dengan asam
orselinat pada situs katalitiknya (Qian et
al., 2019). Dengan merekayasa mutan NphB secara in vivo, total produk geranylated meningkat dari 80 mg/l
menjadi 300 mg/l. Pada penelitian lain, simulasi docking dilakukan pada
taxadiene synthase (TXS) untuk menghasilkan enzim mutan yang dapat mengkonversi
geranylgeranyl pyrophosphate (GGPP) menjadi taxa-4(20)-11(12)-diene, substrat yang
baik untuk downstream enzim taxadiene oxidase. Koekspresi dari dua enzim
tersebut dapat meningkatkan produksi taxadien-5α-ol sebesar 2,4 kali lipat
(Edgar et al., 2017).
Farnesyl diphosphate synthase (IspA) adalah enzim
yang dapat bereaksi dengan dimethylallyl diphosphate (DMAPP) dan geranyl
diphosphate (GPP). IspA mengkonversi DMAPP menjadi GPP, dan juga GPP menjadi farnesyl
pyrophosphate (FPP) sehingga peningkatan pool
GPP diperlukan untuk peningkatan produksi monoterpene. IspA mutan dengan afinitas
terhadap GPP yang direduksi dikonstruksi untuk meningkatkan produksi salah satu
monoterpenes yaitu 1,8-cineole (Mendez‐Perez et al., 2017).
b. Screening
Acak Enzim Mutan
Meskipun data struktur enzim telah banyak tersedia, namun masih
terdapat beberapa enzim yang belum diketahui strukturnya. Pada kondisi tidak
tersedianya data struktur protein, directed
evolution bisa dilakukan dengan random
mutagenesis terhadap enzim target yang diikuti dengan high-throughput screening. Directed
evolution adalah sebuah proses untuk mendapatkan enzim yang superior secara
cepat dengan beberapa langkah mutasi dan seleksi. Contohnya adalah penggunaan random
mutagenesis dan screening terhadap
4-coumarate:CoA ligase (4CL), suatu enzim kunci dalam jalur phenylpropanoid. Untuk
menentukan enzim mutan dengan aktivitas yang tinggi, maka dilakukan screening random 4CL mutant library menggunakan sistem
TtgR regulatory yang merespon resveratrol
sebagai biosensor resveratrol (Xiong et
al., 2017). TtgR adalah anggota famili represor transkripsi TetR yang
mengatur ekspresi efflux pump TtgABC
pada Pseudomonas putida DOT-T1E, yang
bertanggung jawab pada resistensi terhadap beberapa antibiotik dan metabolit
sekunder. Ketika tidak ada induser, protein TtgR berikatan dengan promotor
operon ttgABC dan menghambat transkripsinya. Ketika ada induser operon
mengalami derepresi dan melepaskan protein TtgR. Berdasarkan hasil screening,
maka didapatkan mutan 4CL yang dapat meningkatkan produksi resveratrol dan
naringenin. Pada penelitian lain, directed
evolution dikembangkan pada enzim yang penting pada jalur DXP. Lycopene digunakan
untuk sebagai indikator colorimetric
screening untuk menentukan varian enzim mutan menghasilkan flux tertinggi menuju
jalur DXP (Lv et al., 2016). Saat
enzim mutan terseleksi diintroduksi, produksi isoprene meningkat 60%. Enzyme mutant library yang dihasilkan
dari mutagenesis acak akan melalui proses high-throughput
screening untuk mendapatkan karakter enzim yang diinginkan seperti
aktivitas yang tinggi, spesifisitas substrat yang meningkat, dan selektivitas
terhadap produk yang diinginkan. High-throughput
screening membutuhkan sinyal yang dapat diidentifikasi, seperti warna atau komponen
reporter yang menghasilkan fluorescence.
c. Menghilangkan
Feedback Inhibisi
Beberapa metabolit intermediet memberikan feedback inhibisi terhadap
enzim penting pada jalur biosintesis senyawa alam dan menjadi tantangan dalam
upaya peningkatan produksi senyawa alam. Feedback inhibisi adalah sebuah
fenomena ketika aktivitas enzim ditekan oleh produk akhir atau metabolit
intermediet; inhibitor berinteraksi dengan enzim target dengan mengikat ke
situs alosterik, yang diikuti oleh perubahan konformasi enzim. Masalah ini
dapat diatasi dengan melakukan mutasi enzim kunci sehingga resisten terhadap feedback
inhibisi. Pada jalur biosintesis carbapenem (antibiotik β-lactam), glutamate atau
proline bisa menjadi prekursor penting. Enzim kunci glutamate 5-kinase (ProB) berperan
dalam konversi glutamate menjadi glutamyl 5-phosphate. Namun, ProB diinhibisi
oleh proline, yang juga merupakan intermediet penting dalam jalur biosintesis
carbapenem. Sehingga untuk membuat ProB resisten terhadap mekanisme feedback
negatif, maka dilakukan mutasi pada proline-binding
site ProB dan hasilnya terdapat peningkatan produksi carbapenem secara signifikan
pada E. coli (Shomar et al., 2018). 3-deoxy-D-arabino-heptulosonate-7-phosphate
(DAHP) synthase (AroG) dan anthranilate (ANT) synthase (TrpE) yang resisten
terhadap feedback negatif juga dikembangkan untuk meningkatkan produksi indirubin
dan methyl anthranilate (MANT).
d. Rekayasa
Enzim yang beraosisasi dengan Membran
Banyak enzim, diantaranya cytochrome P450s yang diperlukan untuk
produksi senyawa alam, merupakan enzim yang berasosiasi dengan membran. Ekspresi
fungsional dari enzim heterolog yang berasosiasi dengan membran menjadi
tantangan pada produksi senyawa alam di E.
coli. Aktivitas enzim yang berasosiasi dengan membran dapat ditingkatkan
dengan merekayasa N-terminal hydrophobic
regions. Sebagai contoh peptida persinyalan dari E. coli (OmpF dan TrxA) difusikan dengan N-terminal dan C-terminal truncated β-carotene ketolase dari
mikroalga menyebabkan peningkatan produksi astaxanthin (Park et al., 2018b). Di antara enzim yang
berasosiasi dengan membran, ekspresi P450s memiliki kendala karena memerlukan interaksi
dengan P450 reductase (CPR) pada membran dalam Reticulum Endoplasma atau
mitokondria yang tidak ada pada E. coli.
Rekayasa terhadap daerah transmembran N-terminal P450 menjadi penting dilakukan.
Yeast lebih menguntungkan untuk
ekspresi P450 karena adanya organel intraseluler. Interaksi P450 dengan CPR dipertimbangkan
sebagai cara untuk meningkatkan transfer elektron yang dibutuhkan untuk
pembentukan produk. Pada penelitian produksi taxadien-5α-ol pada E. coli, P450 difusikan secara langsung
dengan CPR untuk memfasilitasi interaksinya, dan mengakibatkan peningkatan
konversi taxadiene menjadi taxadien-5α-ol.
e. Koekspresi
Chaperon
Protein
heterolog seringkali teragregasi atau mengalami misfolding sehingga menghasilkan enzim non aktif. Pada beberapa
kasus, folding yang tepat dari protein
heterolog bisa didapatkan melalui koekspresi gen chaperon. Sebagai contoh,
GroEL dan GroES digunakan untuk mencegah pembentukan inclusion body dari protein polyketide synthase (PKS) besar yang
berperan dalam produksi epothilone dan erythromycin (Zhang et al., 2010). Chaperones tersebut mengarahkan folding yang tepat pada 3 enzim di jalur resveratrol, yang
mengakibatkan peningkatan produksi resveratrol. Strategi lainnya untuk
melarutkan protein target adalah dengan menurunkan suhu, fusi dengan soluble protein tags, dan menurunkan
ekspresi gen.
2.2 Optimalisasi Metabolix Flux
Optimalisasi metabolic
flux bisa dilakukan dengan berbagai alat metabolic engineering seperti mengamplifikasi gen pada pathway kunci, downregulasi gen pada pathway kompetitif, dan menyeimbangkan
atau memodulasi level ekspresi gen pada pathway.
a. Meningkatkan Precursor Pool
Untuk memaksimalkan metabolic flux menuju ke produk target, kita
perlu memastikan pool prekursor
tersedia secara memadai dengan meresolve
step penting di jalur biosintetik. Amplifikasi, reduksi, dan optimasi flux
metabolik sering dilakukan, contohnya dengan memastikan pool malonyl-CoA tersedia secara memadai untuk produksi polyketides
dan phenylpropanoids. Pada sebuah penelitian, overekspresi acetyl-CoA synthase dan
acetyl-CoA carboxylase menghasilkan peningkatan 15 kali lipat produksi malonyl-CoA,
sehingga berdampak pada peningkatan phloroglucinol (Zha et al., 2009). Pada penelitian lain, knocking down pabA (mengkode p-aminobenzoate synthetase) menggunakan
synthetic small regulatory RNA (sRNA)
menghasilkan peningkatan akumulasi malonyl-CoA, dan berdampak pada peningkatan
produksi 6-methylsalicylic acid, aloesone, resveratrol, and naringenin (Yang et al., 2018). sRNA adalah alat knockdown spesifik target yang terdiri
dari RNA nonkoding (menyimpan sekuens antisense spesifik target, scaffold, dan terminator) dan protein
Hfq yang menghambat proses translasi dengan mengikat ke region inisiasi translasi
dari mRNA target.
CRISPR interference (CRISPRi) juga digunakan untuk knock down gen biosintesis asam lemak fabB,
fabI, and fabF untuk meningkatkan konsentrasi malonyl-CoA intraseluler sehingga
menyebabkan peningkatan produksi resveratrol hingga 188.1 mg/l atau 6 kali
lebih tinggi dibandingkan strain kontrol (Wu et al., 2017). CRISPRi adalah teknologi knockdown gen target yang dipandu RNA yang melibatkan peran protein
catalytically dead Cas9 (dCas9) untuk
menginhibisi transkripsi gen target melalui engineered
guide RNAs. Untuk biosintesis terpenoid, suplai yang memadai dari
isopentenyl diphosphate (IPP) dan DMAPP adalah hal yang penting. Hal ini bisa
dilakukan dengan overekspresi gen idi dan dxs pada jalur DXP. Suplai yang
seimbang dari pyruvate dan glyceraldehyde 3-phosphate (G3P) yang merupakan prekursor
pada jalur DXP adalah hal yang penting untuk produksi terpenoid yang tinggi. Suplai
G3P seringkali terbatas pada produksi terpenoid, sehingga peningkatan suplai G3P
melalui overekspresi ppsA (mengkode phosphoenolpyruvate/PEP synthase) dan pck (mengkode
PEP carboxykinase), serta inaktivasi pykFA (mengkode isozymes Pyk-I and -II), berdampak
pada peningkatan produksi lycopene. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
downregulasi gapA (mengkode G3P dehydrogenase) lebih efisien dibandingkan
overekspresi ppsA untuk peningkatan produksi lycopene. Lebih lanjut, introduksi
heterologous mevalonate (MEV) pathway
pada E. coli secara efektif
meningkatkan produksi terpenoid, meningkatkan isoprena 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan tanpa MEV pathway
(Yang et al., 2016).
b. Meningkatkan
Kadar Kofaktor
Suplai yang seimbang
dari kofaktor yang dibutuhkan dalam aktivitas enzim merupakan hal yang penting.
Contohnya, NADPH adalah kofaktor penting untuk enzim NADPH-dependent seperti
P450 kelas II. Satu strategi untuk meningkatkan kadar NADPH adalah memperkuat
flux metabolik jalur pentose phosphate, dengan cara me-knockout pgi (mengkode glucose 6-phosphate isomerase) dan ppc
(mengkode PEP carboxylase) (Zhao et al.,
2015). Hal ini meningkatkan produksi (+)-catechin yang lebih tinggi 943%
dibandingkan tanpa knockout gen ppc
dan pgi.
ATP adalah sumber energi seluler utama yang dibutuhkan
untuk berbagai reaksi sehingga meningkatkan pool
ATP penting untuk meningkatkan biosintesis senyawa alam. Meskipun ATP
dihasilkan dalam jumlah yang cukup pada E.
coli di bawah kondisi aerobik, jumlah aktual ATP yang dibutuhkan untuk
biosintesis senyawa alam dapat lebih dari yang tersedia. Dengan demikian, pemenuhan
kebutuhan ATP untuk biosintesis senyawa alam dapat menjadi strategi yang
efektif untuk meningkatkan biosintesis produk alami. Sebagai contoh,
peningkatan produksi pinocembrin (dari 65.77 mg/l menjadi 102.02 mg/l) didapatkan
dengan cara knocking down metK (mengkode
S-adenosyl-L-methionine synthase) dan proB (mengkode glutamate 5-kinase) menggunakan
CRISPRi, yang meningkatkan kadar ATP pada E.
coli (Tao et al., 2018).
c. Menyeimbangkan Level Ekspresi Gen
Peningkatan fluks
metabolik dengan overekspresi gen target seringkali menyebabkan pemanfaatan
karbon yang tidak efisien atau menyebabkan beban metabolisme. Ekspresi yang
seimbang dari gen ini penting untuk memaksimalkan produksi senyawa target serta
mempertahankan pertumbuhan sel yang optimal. Sebagai contoh, level ekspresi gen
biosintetik kunci untuk produksi lycopene (dxs, idi, dan crtE) mengalami proses
fine-tuning dengan cara skrining
sekuens ribosome-binding site (RBS) dengan
kekuatan yang berbeda. Modifikasi kekuatan ribosome-binding
site (RBS) adalah pendekatan yang populer dan efisien untuk tuning tingkat ekspresi gen dalam sistem
prokariotik. Perubahan kecil hanya dalam 6 hingga 8 bp pada region tertentu
pada RBS dapat menyebabkan upregulasi atau downregulasi proses transalasi (Oesterle
et al., 2017). Kombinasi RBS terbaik
menghasilkan produksi lycopene 3.52 g/l (Sun et al., 2014).
Meskipun fine-tuning
beberapa komponen ekspresi gen (diantaranya kekuatan promoter, kekuatan RBS
strength, dan 5′-untranslated region
sequences) efektif untuk menyeimbangkan level ekspresi, namun cara ini
membutuhkan tenaga yang besar serta memakan waktu yang banyak, khususnya jika
banyak gen yang terlibat. Untuk mengatasi permasalahan ini, terdapat metode
baru untuk menyeimbangkan level ekspresi multigen dengan cara high-throughput screening sejumlah tunable intergenic regions (TIGRs).
TIGRs adalah region intergenik yang dapat didesain dan memiliki dua loop hairpin
yang mengapit situs RNase E; stabilitas mRNA gen target ditentukan oleh
struktur sekunder dari region intergenik. Menyeimbangkan level ekspresi gen upstream
pada jalur MEV dilakukan dengan screening TIGR
libraries dan menghasilkan peningkatan produksi MEV 7 kali lipat. Level
ekspresi gen pathway MEV downstream juga dapat dioptimasi dengan screening TIGR libraries (Shen et al., 2016).
Substrate channeling adalah sebuah strategi yang secara spasial mengintroduksi
multiple enzim menggunakan menggunakan synthetic
scaffolds sehingga transfer dan transformasi zat metabolik intermediet
terjadi secara efisien. Substrate channeling
dapat secara efektif menurunkan beban metabolik, akumulasi intermediet toksik,
dan difusi substrat. Contohnya adalah synthetic
protein scaffolds dikembangkan agar enzim target berdekatan melalui
interaksi protein-protein. Dengan enzim biosintetik MEV pathway berdekatan menggunakan
synthetic protein scaffolds (terdiri
atas domain SH3, PDZ, dan GBD), produksi MEV meningkat 77 kali lipat (Dueber et al., 2009). Dengan menggunakan synthetic protein scaffolds, produksi
(+)-catechin dapat ditingkatkan sebesar 155.6% melalui substrate channeling. Pada penelitian lain, synthetic DNA scaffolds dikembangkan untuk membuat enzim berfusi ke
domain zinc-finger yang berbeda, dan
hal ini menyebabkan peningkatan produksi resveratrol, 1,2-propanediol, dan MEV.
Banyak senyawa alami
dihasilkan dari jalur biosintetik yang panjang dan saling terkait. Karena
kesulitan memanipulasi level ekspresi beberapa gen individu, keseluruhan pathway dapat disegregasikan menjadi
beberapa modul untuk rekayasa pathway yang
efisien (Gao et al., 2018). Contohnya
adalah jalur DXP yang dibagi menjadi modul upstream dan modul downstream,
dimana level ekspresinya diseimbangkan dengan promotor yang berbeda. Hal ini
efektif untuk menurunkan akumulasi intermediet toksik, dan meningkatkan
produksi isoprena sebesar 4,72 kali lipat (Lv et al., 2016). Pada penelitian produksi astaxanthin, dilakukan segmentasi
jalur MEV heterolog menjadi 4 modul dan diikuti dengan menyeimbangkan level
ekspresinya menggunakan promotor dan sekuens RBS yang berbeda menghasilkan 320
mg/l of astaxanthin.
Alternatif lainnya, metabolic
pathway dapat didistribusikan kepada strain yang berbeda untuk menurunkan metabolic burden. Contohnya, jalur
biosintesis anthocyanin terdiri atas 15 gen yang terdistribusi ke 4 strain E. coli yang berbeda, dan ke empat
strain dikokulturkan. Sistem ini menghasilkan 26.1 mg/l (+)-afzelechin dan 9.5
mg/l pelargonidin-3-Oglucoside (callistephin) (Jones et al., 2017). Strategi yang sama juga dilakukan untuk produksi
rosmarinic acid dan salicylate 2-O-β-D-glucoside, yang menyebabkan
produktivitas meningkat dibandingkan kultur tunggal. P450 diketahui sulit
diekspresikan di E. coli. Sehingga
gen P450 yang mengkode taxadiene 5α-hydroxylase diekspresikan pada Yeast yang
menghasilkan oxygenated taxanes dari taxadiene yang dihasilkan engineered E. coli. Pada penelitian lain, jalur biosintesis reticuline
didistribusikan pada tiga strain E. coli
berbeda diikuti dengan kutivasi secara stepwise menghasilkan 48 mg/l reticuline
(Nakagawa et al., 2014).
Dalam rekayasa E.
coli, kita perlu mempertimbangkan metabolisme yang kompleks dan jaringan
regulasi pada level sistem. Rekayasa metabolik level sistem perlu
diintegrasikan dengan biologi sistem, biologi sintetik, dan evolutionary engineering serta rekayasa
metabolik tradisional. Systems metabolic
engineering diketahui memiliki efisiensi yang tinggi untuk mengembangkan
beragam microbial cell factories. Berbagai
alat dan strategi tersedia untuk implementasi systems metabolic engineering.
a. Analisis Metabolik Skala Genom secara In SIlico
Beragam alat computational dikembangkan untuk
memprediksi outcome dari perlakuan
yang diberikan terhadap sistem mikrobial. Pengembangan Genome-scale metabolic models (GEMs) untuk E. coli memberikan prediksi yang akurat pada fungsi biologis dalam
sel. Beberapa algoritma dan program dikembangkan untuk mensimulasikan GEMs
dengan berbagai tujuan dan digunakan untuk mengembangkan strain untuk
biosintesis senyawa alam. Contohnya OptForce dikembangkan untuk
mengidentifikasi target gen knockout dan
overekspresi yang berpotensi meningkatkan pool malonyl-CoA instraseluler (Xu et al., 2011). Strain yang direkayasa
berdasarkan prediksi in silico
menghasilkan malonyl-CoA yang tinggi dan berdampak pada peningkatan produksi naringenin.
Pada penelitian lain, algoritma FVSEOF (flux
variability scanning based on enforced objective flux) digunakan untuk
mengidentifikasi gen target overekspresi dan secara efektif meningkatkan produksi
astaxanthin (Park et al., 2018b). Analisis
in silico juga digunakan untuk
mengidentifikasi kandidat enzim yang fungsional pada E. coli. Contohnya, repository MiBiG (minimum information about a biosynthetic gene cluster) digunakan
untuk mengidentifikasi komponen jalur PKS tipe II minimal yang secara
filogenetik dekat dengan E. coli. Di
antara biosynthetic gene clusters
(BGCs) yang diidentifikasi, jalur PKS dari Photorhabdus
luminiscens TT01 memungkinkan produksi berbagai poliketida di E. coli.
Machine
learning baru-baru ini telah digunakan untuk menguraikan hubungan
genotipe-fenotipe dengan lebih akurat. Machine
learning adalah sekumpulan algoritma yang luas yang digunakan untuk
melakukan kalkulasi dan tugas berdasarkan pola dan kesimpulan menggunakan training data (Yang et al., 2020). Contohnya, untuk menyeimbangkan flux metabolik menuju
(S)-limonene, machine learning digunakan
untuk memprediksi sekuens RBS optimal untuk gen biosintetik kunci. RBS libraries dikonstruksi untuk tiap
gen, dan hasil dari screening yang kurang dari 3% pada libraries digunakan
untuk mentraining algoritma. Dengan
pendekatan tersebut, set sekuens RBS berhasil diprediksi untuk meningkatkan
produksi (S)-limonene dari 593 mg/l menjadi 1.15 g/l, tanpa melakukan screening
libraries secara keseluruhan. Analisis metabolik skala-genomik in silico adalah strategi yang sangat
baik yang dapat menghemat waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk
mengidentifikasi target manipulasi gen secara efektif untuk mengkonstruksi sistem
mikrobial dengan performa tinggi.
b.
Adaptive Laboratory Evolution
Karena kita belum
memahami secara penuh mekanisme metabolik dan regulasi, banyak trait (sifat) yang diinginkan yang masih
belum bisa didapatkan melalui rekayasa metabolisme tingkat rasional atau
sistem. Strategi ‘random mutagenesis dan seleksi’ digunakan di berbagai sektor
bioteknologi industri. Dengan tersedianya alat yang lebih baik dan sistem
robotik dengan kapabilitas otomatis dan preprogrammable,
adaptive laboratory evolution (ALE), yang
meniru proses seleksi alam di laboratorium, banyak digunakan untuk meningkatkan
performa strain
(Guzmán et
al., 2019). ALE berbeda dari directed
evolution karena ALE diaplikasikan pada strain, bukan pada enzim. ALE
menghasilkan strain dengan peningkatan toleransi produk, laju pertumbuhan, dan
laju konsumsi dari substrat. Contohnya, untuk meningkatkan toleransi dan
produksi pinene, ALE dilakukan dengan menambahkan 2.0% (w/v) pinene.
Untuk menghasilkan mutan high-performance GPP synthase, directed evolution dilakukan dengan error-prone PCR dan DNA shuffling yang dapat meningkakan produksi pinene 2.2 kali lipat.
Error-prone PCR adalah metode untuk
mengintroduksi mutasi acak ke dalam segmen DNA tertentu menggunakan PCR. Pada Gene
shuffling, gen terkait
difragmentasi menggunakan DNase I dan disusun kembali dengan PCR tanpa primer.
Gen chimeric yang dihasilkan kemudian dapat discreening atau diseleksi untuk fungsi yang diinginkan. Mutasi
yang tidak diharapkan sering terjadi saat melakukan ALE. Pengujian mutasi ini
dapat memberikan wawasan tambahan terhadap metabolik kompleks dan jaringan
regulasi dari mikroorganisme yang selanjutnya menyediakan pedoman rekayasa baru
untuk produksi senyawa target. Semakin terjangkaunya harga sekuensing DNA menyebabkan
sekuensing DNA dalam jumlah besar memungkinkan dilakukan. Produksi strain
menggunakan prinsip reverse engineering
berdasarkan sekuensing DNA strain terevolusi yang dihasilkan dari ALE dapat digunakan
secara luas untuk pengembangan strain high-performance.
c. Analisis
Omic
Monitoring perubahan
metabolik intraseluler setelah introduksi biosynthetic
gene clusters (BGCs) heterolog penting dilakukan untuk identifikasi target
manipulasi gen yang menguntungkan yang sulit dipilih secara rasional. Interpretasi
data omics dapat memberikan pandangan menyeluruh pada metabolisme dan regulasi
yang berguna untuk pengembangan strategi rekayasa metabolik lain. Dalam sebuah
penelitian produksi zeaxanthin pada E.
coli, analisis proteomik dilakukan untuk mengidentifikasi protein yang
diekspresikan secara berbeda pada pengenalan jalur MEV. Ditemukan bahwa protein
FtsZ, MreB, dan RodZ yang terlibat dalam pembelahan dan bentuk sel, ditemukan
mengalami downregulated pada strain overproducer zeaxanthin (Shen et al., 2016). Menariknya, downregulasi
protein ini menyebabkan produksi zeaxanthin yang lebih tinggi. Dibandingkan
dengan melakukan simulasi metabolik skala genom untuk mengukur nilai flux
metabolik, nilai flux aktual (fluxome) dapat dihitung dengan mengukur
distribusi isotopomer melalui 13C metabolic
flux analysis (13C-MFA).
13C-metabolic
flux analysis (13CMFA) adalah alat untuk mengukur fluks metabolik melalui
analisis isotopomer menggunakan stable
13C-labeled tracers. Perbanyakan senyawa berlabel-13C dari waktu ke waktu
dapat dilacak menggunakan spektrometri massa untuk mencatat dan menganalisis
pola pelabelan pada zat intermediet metabolik atau produk akhir. 13C-MFA diaplikasikan
untuk megidentifikasi target manipulasi gen untuk meningkatkan produksi MEV
(Wada et al., 2017) dan violacein
pada E. coli. Dengan pengembangan
teknologi analisis lain (contohnya RNA-seq untuk analisis transkriptom dan analisis
spektrometri massa untuk analisis proteom), analisis omic menjadi lebih cepat
dan mudah. Perkembangan ini mengarahkan pada pemahaman yang lebih baik terhadap
metabolisme dan regulasi seluler pada tingkat sistem, yang pada gilirannya
memfasilitasi pengembangan strain dengan performa tinggi.
d. High-Throughput
Screening menggunakan Biosensor Molekuler
Untuk senyawa target yang menampilkan warna tampak, seperti likopen berwarna merah dan violacein berwarna ungu, maka dapat dilakukan high-throughput colorimetric screening. Biosensor molekuler dapat diterapkan untuk memvisualisasikan senyawa target tak berwarna dengan mengubahnya menjadi sinyal yang dapat diamati (Meyer et al., 2019). Biosensor dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: berbasis faktor transkripsi dan berbasis enzim. Dalam biosensor berbasis faktor transkripsi, faktor transkripsi yang terikat pada senyawa target menimbulkan ekspresi diferensial gen reporter. Biosensor berbasis enzim dapat secara langsung mengubah senyawa target menjadi metabolit pengganti lain yang menunjukkan warna atau fluoresensi. Biosensor semacam itu dapat dikombinasikan dengan alat gene knockdown seperti teknologi sRNA sintetis untuk skrining target manipulasi gen di seluruh sistem. Misalnya, sRNA library skala genom digunakan bersama dengan biosensor malonylCoA berbasis PKS tipe III (RppA) untuk mengidentifikasi target knockdown gen yang dapat meningkatkan pool malonil-CoA (Yang et al., 2018). Knockdown target gen yang dipilih secara signifikan meningkatkan produksi poliketida (6-methylsalicylic acid and aloesone) dan phenylpropanoids (resveratrol and naringenin). Seperti yang dicontohkan di atas, skrining high-throughput menggunakan biosensor berguna dalam mengidentifikasi gen target untuk manipulasi. Namun, karena hanya sedikit biosensor yang tersedia, pengembangan biosensor baru yang dapat mendeteksi metabolit yang lebih beragam akan berguna untuk lebih mempercepat pengembangan strain yang superior.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar